Gedung Djoeang 45
Gedung Djoeang '45 merupakan sebuah kompleks bangunan cagar budaya yang telah direvitalisasi menjadi salah satu destinasi wisata sejarah dan ruang publik favorit di Kota Surakarta. Berlokasi di kawasan Kedung Lumbu, tidak jauh dari Benteng Vastenburg dan Titik Nol Kilometer Solo, gedung ini memancarkan pesona arsitektur kolonial yang megah, dikombinasikan dengan sentuhan modern yang menjadikannya tempat populer untuk berfoto, bersantai, dan mengenang sejarah perjuangan bangsa.
Sejarah bangunan ini dimulai pada era kolonial Belanda. Awalnya, gedung ini bukanlah sebuah markas perjuangan, melainkan fasilitas pendukung bagi garnisun militer Belanda yang bermarkas di Benteng Vastenburg. Didirikan sekitar tahun 1876 hingga 1880, bangunan ini pada awalnya bernama Cantine en Kook-inrichting, yang berfungsi sebagai kantin, dapur umum, dan poliklinik bagi para serdadu Belanda. Letaknya yang strategis di dekat benteng utama menunjukkan perannya yang vital dalam logistik dan kesehatan tentara kolonial pada masa itu.
Peran gedung ini berubah total seiring dengan bergeloranya semangat kemerdekaan Indonesia. Pada masa perjuangan fisik, sekitar tahun 1945-1949, gedung ini diambil alih oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia dan menjadi salah satu pusat pergerakan. Di sinilah para pejuang berkumpul, merancang strategi, dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap agresi militer Belanda. Karena peranannya yang sangat penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, gedung ini kemudian dikenal sebagai Gedung Djoeang '45. Selain itu, tempat ini juga menjadi markas Dewan Harian Cabang (DHC) Angkatan '45, sebuah organisasi yang mewadahi para veteran pejuang kemerdekaan.
Setelah lama tidak terawat dan sempat kehilangan pesonanya, Pemerintah Kota Surakarta melakukan proyek restorasi dan revitalisasi besar-besaran pada tahun 2019. Bangunan utama yang rusak parah diperbaiki dengan tetap mempertahankan keaslian arsitekturnya, sementara halaman depannya diubah menjadi plaza yang luas dan terbuka untuk umum. Kini, Gedung Djoeang '45 telah bertransformasi menjadi ruang publik yang estetik dan edukatif. Di dalamnya terdapat museum kecil yang menampilkan diorama dan foto-foto perjuangan, serta berbagai sudut menarik yang menceritakan perjalanannya dari kantin tentara kolonial menjadi monumen perjuangan kebanggaan Kota Solo.
Gedung Djoeang '45 merupakan sebuah kompleks bangunan cagar budaya yang telah direvitalisasi menjadi salah satu destinasi wisata sejarah dan ruang publik favorit di Kota Surakarta. Berlokasi di kawasan Kedung Lumbu, tidak jauh dari Benteng Vastenburg dan Titik Nol Kilometer Solo, gedung ini memancarkan pesona arsitektur kolonial yang megah, dikombinasikan dengan sentuhan modern yang menjadikannya tempat populer untuk berfoto, bersantai, dan mengenang sejarah perjuangan bangsa.
Sejarah bangunan ini dimulai pada era kolonial Belanda. Awalnya, gedung ini bukanlah sebuah markas perjuangan, melainkan fasilitas pendukung bagi garnisun militer Belanda yang bermarkas di Benteng Vastenburg. Didirikan sekitar tahun 1876 hingga 1880, bangunan ini pada awalnya bernama Cantine en Kook-inrichting, yang berfungsi sebagai kantin, dapur umum, dan poliklinik bagi para serdadu Belanda. Letaknya yang strategis di dekat benteng utama menunjukkan perannya yang vital dalam logistik dan kesehatan tentara kolonial pada masa itu.
Peran gedung ini berubah total seiring dengan bergeloranya semangat kemerdekaan Indonesia. Pada masa perjuangan fisik, sekitar tahun 1945-1949, gedung ini diambil alih oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia dan menjadi salah satu pusat pergerakan. Di sinilah para pejuang berkumpul, merancang strategi, dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap agresi militer Belanda. Karena peranannya yang sangat penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, gedung ini kemudian dikenal sebagai Gedung Djoeang '45. Selain itu, tempat ini juga menjadi markas Dewan Harian Cabang (DHC) Angkatan '45, sebuah organisasi yang mewadahi para veteran pejuang kemerdekaan.
Setelah lama tidak terawat dan sempat kehilangan pesonanya, Pemerintah Kota Surakarta melakukan proyek restorasi dan revitalisasi besar-besaran pada tahun 2019. Bangunan utama yang rusak parah diperbaiki dengan tetap mempertahankan keaslian arsitekturnya, sementara halaman depannya diubah menjadi plaza yang luas dan terbuka untuk umum. Kini, Gedung Djoeang '45 telah bertransformasi menjadi ruang publik yang estetik dan edukatif. Di dalamnya terdapat museum kecil yang menampilkan diorama dan foto-foto perjuangan, serta berbagai sudut menarik yang menceritakan perjalanannya dari kantin tentara kolonial menjadi monumen perjuangan kebanggaan Kota Solo.
Gedung Djoeang '45 merupakan sebuah kompleks bangunan cagar budaya yang telah direvitalisasi menjadi salah satu destinasi wisata sejarah dan ruang publik favorit di Kota Surakarta. Berlokasi di kawasan Kedung Lumbu, tidak jauh dari Benteng Vastenburg dan Titik Nol Kilometer Solo, gedung ini memancarkan pesona arsitektur kolonial yang megah, dikombinasikan dengan sentuhan modern yang menjadikannya tempat populer untuk berfoto, bersantai, dan mengenang sejarah perjuangan bangsa.
Sejarah bangunan ini dimulai pada era kolonial Belanda. Awalnya, gedung ini bukanlah sebuah markas perjuangan, melainkan fasilitas pendukung bagi garnisun militer Belanda yang bermarkas di Benteng Vastenburg. Didirikan sekitar tahun 1876 hingga 1880, bangunan ini pada awalnya bernama Cantine en Kook-inrichting, yang berfungsi sebagai kantin, dapur umum, dan poliklinik bagi para serdadu Belanda. Letaknya yang strategis di dekat benteng utama menunjukkan perannya yang vital dalam logistik dan kesehatan tentara kolonial pada masa itu.
Peran gedung ini berubah total seiring dengan bergeloranya semangat kemerdekaan Indonesia. Pada masa perjuangan fisik, sekitar tahun 1945-1949, gedung ini diambil alih oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia dan menjadi salah satu pusat pergerakan. Di sinilah para pejuang berkumpul, merancang strategi, dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap agresi militer Belanda. Karena peranannya yang sangat penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, gedung ini kemudian dikenal sebagai Gedung Djoeang '45. Selain itu, tempat ini juga menjadi markas Dewan Harian Cabang (DHC) Angkatan '45, sebuah organisasi yang mewadahi para veteran pejuang kemerdekaan.
Setelah lama tidak terawat dan sempat kehilangan pesonanya, Pemerintah Kota Surakarta melakukan proyek restorasi dan revitalisasi besar-besaran pada tahun 2019. Bangunan utama yang rusak parah diperbaiki dengan tetap mempertahankan keaslian arsitekturnya, sementara halaman depannya diubah menjadi plaza yang luas dan terbuka untuk umum. Kini, Gedung Djoeang '45 telah bertransformasi menjadi ruang publik yang estetik dan edukatif. Di dalamnya terdapat museum kecil yang menampilkan diorama dan foto-foto perjuangan, serta berbagai sudut menarik yang menceritakan perjalanannya dari kantin tentara kolonial menjadi monumen perjuangan kebanggaan Kota Solo.
Gedung Djoeang '45 merupakan sebuah kompleks bangunan cagar budaya yang telah direvitalisasi menjadi salah satu destinasi wisata sejarah dan ruang publik favorit di Kota Surakarta. Berlokasi di kawasan Kedung Lumbu, tidak jauh dari Benteng Vastenburg dan Titik Nol Kilometer Solo, gedung ini memancarkan pesona arsitektur kolonial yang megah, dikombinasikan dengan sentuhan modern yang menjadikannya tempat populer untuk berfoto, bersantai, dan mengenang sejarah perjuangan bangsa.
Sejarah bangunan ini dimulai pada era kolonial Belanda. Awalnya, gedung ini bukanlah sebuah markas perjuangan, melainkan fasilitas pendukung bagi garnisun militer Belanda yang bermarkas di Benteng Vastenburg. Didirikan sekitar tahun 1876 hingga 1880, bangunan ini pada awalnya bernama Cantine en Kook-inrichting, yang berfungsi sebagai kantin, dapur umum, dan poliklinik bagi para serdadu Belanda. Letaknya yang strategis di dekat benteng utama menunjukkan perannya yang vital dalam logistik dan kesehatan tentara kolonial pada masa itu.
Peran gedung ini berubah total seiring dengan bergeloranya semangat kemerdekaan Indonesia. Pada masa perjuangan fisik, sekitar tahun 1945-1949, gedung ini diambil alih oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia dan menjadi salah satu pusat pergerakan. Di sinilah para pejuang berkumpul, merancang strategi, dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap agresi militer Belanda. Karena peranannya yang sangat penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, gedung ini kemudian dikenal sebagai Gedung Djoeang '45. Selain itu, tempat ini juga menjadi markas Dewan Harian Cabang (DHC) Angkatan '45, sebuah organisasi yang mewadahi para veteran pejuang kemerdekaan.
Setelah lama tidak terawat dan sempat kehilangan pesonanya, Pemerintah Kota Surakarta melakukan proyek restorasi dan revitalisasi besar-besaran pada tahun 2019. Bangunan utama yang rusak parah diperbaiki dengan tetap mempertahankan keaslian arsitekturnya, sementara halaman depannya diubah menjadi plaza yang luas dan terbuka untuk umum. Kini, Gedung Djoeang '45 telah bertransformasi menjadi ruang publik yang estetik dan edukatif. Di dalamnya terdapat museum kecil yang menampilkan diorama dan foto-foto perjuangan, serta berbagai sudut menarik yang menceritakan perjalanannya dari kantin tentara kolonial menjadi monumen perjuangan kebanggaan Kota Solo.